Selasa, 09 Agustus 2016

Tanggalkan HP Sejenak, Ciptakan Iklim Akademik dan Tingkatkan Kualitas Pembelajaran


Sebagai insan akademik, dalam momentum memperingati hari kemerdekaan RI, 17 Agustus 2016, kita perlu melakukan refleksi nasional dalam penyelenggaraan pendidikan. Sudahkah kualitas penyelenggaraan pendidikan kita telah memenuhi apa kita harapkan terkait era teknologi informasi sekarang ini. Ataukah kemajuan teknologi informasi justru menurunkan semangat dan etos belajar mahasiswa. Beberapa waktu lalu Rektor Uiversitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Prof Dr Bambang Setiaji mengadakan sweeping peserta rapat untuk menatuh HP di luar ruang rapat. Harapannya agar peserta rapat lebih fokus. Namun, inisiatif tersebut tidaklah berjalan lama, bahkan hanya sekali dalam kurun waktu tiga tahunan terakhir. Mengelaborasi gagasan tersebut tentulah perlu dilakukan massivikasi kajian lanjut dan usaha untuk memperluas cakupan khususnya terhadap usaha peningkatan kualitas pembelajaran mahasiswa di UMS, dan dunia perguruan tinggi pada umumnya.
Seperti diketahui bahwa secara kualitatip daya juang mahasiswa belakangan ini mengalami kemerosotan yang cukup berarti. Hal tersebut dapat dilihat secara jelas, bahkan gejala tersebut bukan merupakan gejala lokal yang dialami UMS saja, tetapi hampir di semua lembaga pendidikan. Dahulu, ketika banyak program studi masih berstatus terdaftar dan diakui, ada semacam tugas dan tanggungjawab mahasiswa yang berat namun mendidik, sebab setelah ujian di kampus sendiri (ujian lokal), mahasiswa masih diwajibkan lagi menempuh ujian negara meski jumlahnya tidaklah banyak, yakni hanya mata kuliah yang menjadi inti/core dari kompetensi siswa pada program studinya masing-masing yang diujikan negara. 
Untuk menempuh ujian negara, mahasiswa berjuang dan bersemangat untuk mencari materi dari PTN induk di mana ujian negara itu bernaung sesuai kopertis-nya. Dimana sejumlah materi kuliah yang mungkin belum diberikan di kuliah local menjadikan kelulusan Negara jadi rendah, bahkan tidak jarang mahasiswa mengulang sampai dua atau tiga kali ujian negara, namun dari proses itu akhirnya mereka tertempa. Untuk mencapai sukses mereka perlu membaur dengan mahasiswa negeri yang mana mata uji negara tersebut pengujinya dari dosen negeri dimaksud. Banyak yang pergi ke Semarang atau Yogyakarta bahkan Jakarta dan Surabaya hanya untuk mendapatkan meteri yang akan diujikan dalam ujian negara. 
Fasilitas di kampus swasta tentu jauh lebih sedikit dibanding PTN, karena PTS harus mencari uang sendiri menggaji sendiri dosen dan pegawai lainya, sementara PTN, semua budgetnya disupply dari pemerintah. Bagi PTS yang masih pemula, sungguh hal ini sangat berat. Tetapi dibalik sisi kekurangan banyak didapat hikmah, yakni : daya juang yang besar, yang akan membawa mahasiswa lebih dewasa dan matang.
Menyoroti program pemerintah dengan sistim pendirian program studi baru yang tidak lagi ada istilah ujian negara, menurut hemat penulis terkandung banyak kelemahan. Ketika prodi baru mendapat ijin operasional, tidak ada filter ujian negara bagi mahasiswanya, prodi hanya ditarget agar dalam waktu 2 tahun melakukan reakreditasi agar naik dari status pendapat ijin operasional (otomatis akreditasi C) menjadi B atau A. Hal ini menjadikan pertumbuhan prodi kurang terkontrol. Tidak sedikit Prodi setelah re-akreditasi tetap saja statusnya C. Parahnya beberapa kepala daerah punya kebijakan bahwa lulusan Prodi ber-akreditasi C tidak boleh mendaftar PNS artinya tidak diakui.
Kembali menyoroti soal rendahnya daya juang mahasiswa akhir-akhir ini bahwa, pengaruh lain dunia pendidikan lebih diperparah dengan kemajuan teknologi komunikasi, internet, dan lainnya yang cenderung salah dalam penerapan/pemakaian, terutama kebiasaan mahasiswa menggantungkan diri pada HP. Orang, dibuat pikirannya bahwa segala sesuatu dapat diselesaikan dengan HP. Hal ini betul-betul merusak iklim akademis. Bagaimana tidak, dalam kelas main HP, rapat main HP, pengajian main HP, berkumpul dengan keluarga main HP dan lain sebagainya.
Sungguh mahasiswa sekarang daya juangnya memprihatinkan, walaupun fasilitas kampus seperti ketersediaan buku baik diperpustakaan maupun buku-buku ajar dari dosen sudah bagus di bandingkan saat masih ada model status terdaftar, diakui dan disamakan seperti tahun 80-an. Tetapi daya juang, kemauan baca mahasiswa saat ini tidaklah sehandal mahasiswa di masa lalu, diberi kuliah main HP, dosen menulis di kelas mahasiswa mengandalkan copyan temannya, diberi materi soft copy juga tidak diprint, apalagi dibaca. Walhasil, ketika menjalani ujian akhir smester nilainya sugguh jauh dari harapan ang diinginkan, kemampuan mahasiswapun rendah dalam penguasaan kompetensi. 
Mengacu atas keprihatinan ini perlu adanya usaha internal masing-masing kampus untuk mengantisipasi dengan membuat terobosan agar kualitas pembelajara dan iklim akademik benar-benar dihidupkan. Usaha kecil yang disinyalir akan memiliki dampak signifikan adalah dengan menyediakan tempat khusus didepan kelas untuk menaruh HP selama mengikuti kuliah. Solusi lain, sebagai substitusi ujian Negara, sungguh sangat hebat jika masing-masing Perguruan tinggi mengadakan Uji kompetensi untuk masing-masing mahasiswa program studi, sehingga mahasiswa lulus betul-betul mendapat bekal, sehingga mereka menjadi marketable, secara nasional maupun Internasional. Sebab tidak mungkin semua usaha ini digantungkan kepada pemerintah semata.
Jeffrey H. dkk. 2015. Dalam artikelnya menuliskan bahwa, mengirim dan mereply pesan yang tidak ada kaitanya dengan mata kuliah yang diikuti di dalam kelas berdampak negatip terhadap proses pembelajaran. Sedangkan mengirim dan mereply pesan yang ada kaitanya dengan mata kuliah yang diikuti tidak nampak dampak negatifnya terhadap proses pembelajaran.
Nur Hasanah dan Dyah Kumalasari, dalam risetnya, untuk mengetahui perilaku sosial siswa, menyimpulkan bahwa (1) siswa memiliki perilaku yang tidak sesuai dengan nilai dan moral; (2) siswa bebas melakukan apapun yang diinginkan salah satunya dalam hal penggunaan ponsel/HP; (3) dengan ponsel remaja mendapatkan banyak informasi, mendapatkan banyak teman serta menghilangkan kejenuhan; (4) siswa mudah mendapat pertemanan, tetapi seringkali mengarah kepada hal-hal negatif. 
Demikian sedikit renungan, refleksi ini diharapkan adanya kebangkitan usaha dalam peningkatan kompetensi dan pembinaan karakteristik dikalangan mahasiwa yang akan menjadi penerus bangsa, Salam kemerdekaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar