Selasa, 27 Januari 2015

Pelacakan Pesawat Hilang Kontak

PENCARIAN pesawat Airbus A320-200 milik AirAsia yang kehilangan kontak dalam penerbangannya dari Surabaya menuju Singapura, telah membuahkan hasil. Tim Basarnas pada Selasa (30/12) siang telah menemukan beberapa jenazah, serpihan pesawat, dan sebagian muatannya di perairan Pangkalan Bun Kalimantan Tengah.
Terkait dengan kejadian pesawat kehilangan kontak dalam penerbangan, penulis tertarik pada ulasan Bart Jansen (USA Today, 28/12/14). Disebutkan, pilot atau kopilot biasanya menyampaikan informasi penerbangannya ke pabrik pesawat atau kantor mereka.
Data itu membantu pelacakan andai pesawat itu kehilangan kontak seperti AirAsia yang jatuh di perairan Pangkalan Bun, atau pesawat Air France penerbangan 447 yang kemudian ditemukan jatuh di Laut Atlantik tahun 2009.
Dalam pencarian pesawat Malaysia Airlines MH370 yang juga kehilangan kontak, teknologi pelacakan semacam itu disebut komunikasi pelacakan pesawat dan sistem pelaporan (tracking technology) atau lebih sering disebut aircraft communication addressing and reporting system (ACARS).
Peranti atau teknologi itu buatan Aeronautical Radio Incorporated (Arinc), perusahaan komunikasi transportasi pada tahun 1978. Awalnya kerja alat ini memanfaatkan frekuensi sangat tinggi (VHF) dan frekuensi tinggi (HF) tapi dalam perkembangan terakhir (1990) mulai memakai satelit komunikasi.
Pergerakan Pesawat
Generasi awal ACARS sudah bisa mengirim data yang dibutuhkan maskapai penerbangan, seperti informasi pesawat keluar hanggar, lepas landas, atau pesawat mendarat dan masuk lagi ke hanggar (on the ground and into the gate). Dengan pelaporan secara otomatis itu maskapai penerbangan bisa memantau pergerakan pesawat, termasuk bila ada ketidaktepatan jadwal.
ACARS terdiri atas dua komponen utama, yaitu management unit yang berfungsi sebagai penerima (receiver) dan pemancar pesan (transmitter); serta layar kontrol (monitor). Pesawat yang lebih modern biasanya dilengkapi dengan flight management system (FMS) yang memungkinkan diintegrasikan dengan ACARS sehingga perantinya bisa lebih ringkas/kompak.
Salah satu keunggulan FMS adalah bisa menangkap data cuaca di darat. ACARS pun sebenarnya bisa menerima data rencana rute baru seandainya pilot mengubah arah penerbangan karena diadang awan kumulonimbus, yaitu awan tebal yang sangat berbahaya bagi penerbangan.
Adapun teknik pencarian lain adalah dari rekaman komunikasi radio atau percakapan antara awak pesawat dan petugas stasiun di darat (air traffic control/ATC) yang biasanya memanfaatkan frekuensi radio, baik VHF maupun HF. Komunikasi itu harus dua arah, artinya ada yang berbicara dan ada yang mendengarkan untuk segera menjawabnya. Akhir 1980 komunikasi data mulai diterapkan dalam dunia penerbangan komersial. Dengan menggunakan frekuensi radio (sama dengan yang dipakai dalam komunikasi suara), sejak saat itu komunikasi data mengambil peran penting.
Jadi, mulai saat itu, pesan (mengenai kondisi penerbangan) dapat dikirim tanpa harus menunggu ada orang yang mendengar dan kemudian harus menjawabnya. Secara sederhana kita bisa menggambarkan seperti orang mengirim SMS.
Prinsip kerja teknik pemantauan (tracking) seperti itu harus dilakukan pada saat tepat, semisal ketika pesawat lepas landas ataupun mendarat. Teknik pemantauan tersebut juga bisa men-display-kan melalui layar monitor ketika mesin pesawat beroperasi lebih panas (overheat).
Alasan mengapa maskapai penerbangan melakukan teknik tracking yakni karena bila ada sesuatu yang berhenti beroperasi dalam penerbangan, hal itu sangat membahayakan keselamatan penerbangan. Dengan sistem itu pula, teknisi pesawat bisa segera mengecek, merawat, dan memperbaiki kerusakan, sesaat setelah menerima pesan cepat (otomasi) mengenai kondisi sebuah pesawat, termasuk mesinnya.
Secara umum, pesan sinyal itu dapat dikirim secara murah di atas daratan dengan menggunakan frekuensi sangat tinggi (VHF), seperti digunakan astronot Apollo, kata Hansman. Bisa pula dikirim melalui satelit, kendati butuh peralatan lebih mahal yang berarti biaya pengoperasiannya juga lebih mahal.
Kecanggihan layanan informasi sistem penerbangan juga sangat bergantung pada alokasi dana yang disediakan sebuah maskapai penerbangan. Misalnya, Boeing mempromosikan layanan yang disebut custom alerting untuk tipe 777 , 747 dan 787, yakni dengan koneksi internet berkecepatan tinggi.
Beberapa operator besar penerbangan kadang mengumpulkan sendiri data/ informasi mengingat mereka mampu mengolahnya. David Greenberg, yang sudah 27 tahun bekerja di Delta Air Lines dan sekarang jadi konsultan maskapai penerbangan sebagai presiden Kompas Group, mengatakan Malaysia tidak berlangganan program informasi yang ditawarkan Boeing karena sudah mengumpulkan sendiri data yang dibutuhkan.
Airbus A330 Air France yang mengalami kecelakaan memiliki sistem canggih untuk mengirim pesan. Hal itulah, menurut Hansman, sangat membantu upaya pencariannya ketika pesawat tersebut dilaporkan kehilangan kontak, dan kemudian oleh maskapai penerbangannya dinyatakan hilang (mengalami kecelakaan).
Garuda Indonesia dalam musim haji 2014 dan juga beberapa tahun sebelumnya menyewa beberapa pesawat dari Prancis dengan alasan pesawat tersebut memiliki sistem penyampaian informasi modern. Tentu alasan pemilihan itu lebih mendasarkan demi mendapatkan ‘’ketenangan’’ dan jaminan keselamatan, selain jumlah pesawat Garuda juga terbatas. (10)
— IrSarjito MTPhD, Wakil Rektor II Universitas Muhammadiyah Surakarta

MH370 Meledak di Udara?



AHLI pesawat terbang, yang juga mantan presiden RI, BJ Habibie mengatakan kemungkinan pesawat Malaysia Airlines MH370 meledak di udara dan kepingannya tersebar tanpa arah (SM, 22/3/14). Mungkinkah pesawat meledak pada ketinggian tertentu? Sifat atmosfer (massa udara di atas permukaan bumi) bisa berubah-ubah mengikuti perubahan ketinggian, terutama tekanan, temperatur, dan massa jenisnya. Namun perubahan itu tidak secara linier.


Dari permukaan air laut hingga ketinggian 11 km (biasa disebut troposfer) atau ekivalen setinggi 35.000 kaki (feet), adalah ketinggian yang umum dipakai terbang pesawat sipil komersial mendasarkan antara lain keekonomisan bahan bakar. Beberapa pakar menyebut tekanan udara pada ketinggian tersebut sangat rendah/ tipis, karena itu temperaturnya pun sangat rendah.


Tabel perhitungan Internasional Standar Atmosfer (ISA) menyebutkan pada ketinggian 11 km, suhu udara bisa 216.8K atau 57 derajat Celcius di bawah nol. Dengan postulasi tertentu, penurunan suhu akibat penurunan tekanan hingga ketinggian 11 km bisa minus 6,5 derajat Celcius rata-rata (lapse rate). Namun hingga elevasi 11-20 km (stratosfer) temperatur udara akan konstan, Selanjutnya pada elevasi 20-32 km, temperatur naik rata-rata 1 derajat Celcius, kemudian pada ketinggian 32-47 km naik lagi 2,8 derajat Celcius, seiring perubahan ketinggian. Tapi selebihnya, hingga 85 km, kenaikan temperatur hanya 2,4 derajat Celcius.


Pada ketinggian 11 km, penurunan sedikit saja tekanan udara di luar pesawat sangat rawan terhadap tekanan di dalam kabin pesawat. Efek paling awal adalah telinga terasa sakit. Andai dinding pesawat berlubang, kulit manusia bisa sobek karena ada perbedaan tekanan sangat besar antara di luar dan di dalam kabin pesawat.


Kemungkinan pesawat meledak di udara, mendasarkan pernyataan Habibie, bisa juga karena ulah manusia yang dipicu oleh tekanan dan temperatur yang tak terkendali, yang kemudian membuatnya berada pada ketidakseimbangan kerja normal (disorientasi). Atmosfer hakikatnya adalah campuran gas, dengan oksigen dan nitrogen sebagai unsur utama. Gas lainnya adalah hidrogen, helium, argon, krypton, dan neon, yang komposisinya pada ketinggian tertentu masih dianggap seragam, namun akan berbeda jauh bila dalam posisi lebih tinggi.






Pesawat Terlempar


Dalam kondisi kerja tak seimbang, bisa jadi arah pesawat (sebagai benda aerodinamis) di atmosfer bisa tidak terkendali dan berisiko naik hingga setinggi 32-47 km, yang suhunya cenderung naik. Hal itu berpengaruh ada proses pembakaran di mesin pesawat sehingga terjadi overheat.


Kemungkinan pesawat meledak di udara karena overheat, bisa jadi karena pada ketinggian 11 km (ketinggian ekonomis) suhu atmosfer sangat rendah sehingga tidak tertutup kemungkinan pesawat kehilangan gaya angkat (stall) karena turbulensi setelah terbentuk lapisan/gumpalan es di sayap atau bagian lain.


Terbentuknya es disebabkan oleh suhu dingin dan kabut uap air di udara. Es yang menempel di sayap dapat ’’mengubah’’ bentuk geometri aslinya. Bisa jadi, bentuk sayap (airfoil) yang semula simetris menjadi tidak lagi simetris (asimetris). Efek yang tak kalah fatal adalah bila lapisan/gumpalan es itu menyumbat lubang pengukur kecepatan udara yang menyebabkan tak berfungsinya alat ukur di dalam kabin. Pembentukan es berefek lebih berbahaya bila terjadi di mulut saluran kompresor mesin. Hal itu menyebabkan penyempitan saluran udara ke turbin sehingga pasokan oksigen ke mesin pun berkurang secara signifikan, dan pesawat bisa kehilangan tenaga (power lost).


’’Hilangnya’’ pesawat bisa juga karena kehilangan gravitasi (gaya tarik bumi), yang menyebabkan pesawat ’’terlempar’’ ke atas. Pesawat hanya perlu tenaga besar ketika hendak lepas landas dan mendarat. Tenaga itu diperlukan untuk mengangkat (lifting) pesawat, guna melawan efek gravitasi bumi, dan mendorong pesawat ke depan. Adapun tenaga besar yang dibutuhkan saat mendarat, lebih dimanfaatkan untuk pengereman.


Penerbangan pada ketinggian 11 km (35.000 kaki), atau pada tekanan udara tipis, pesawat tak butuh lagi gaya angkat (lift), namun hanya perlu gaya dorong ke depan. Konstruksi pesawat dibuat dengan angka keamanan tinggi, dan biasa diistilahkan dengan faktor keamanan di atas 200% atau lipat dua. Sebagai pembanding, perencanaan teknis kekuatan material kendaraan darat, hanya 1,5 kali lipat lebih besar dari kekuatan yang dibutuhkan.


Dengan angka keamanan lipat dua, andai pesawat mengalami kegagalan fungsi mesin total maka alternatif pendaratannya hanya di laut lepas, yang juga bergantung apakah masih mempunyai avtur yang cukup. Bila pesawat mempunyai dua mesin, dengan angka keamanan yang tinggi, ’’diyakini’’ dengan hanya satu mesin, pilot bisa melakukan pendaratan darurat di darat.


Unsur kesengajaan, sebagaimana dugaan sementara pihak, bisa dimaklumi. Misal mengaitkan kejadian itu dengan kemungkinan pembajakan atau ada orang di pesawat sengaja mengubah arah terbang. Namun untuk lebih mendewasakan kita, terutama generasi penerus, akan lebih sehat bila kita menganalisis berdasarkan sains dan teknologi. Upaya itu, selain lebih rasional, juga tidak akan meninggalkan nilai-nilai kemaslahatan.






http://arie-makalah-spi.blogspot.com/2014/03/mh370-meledak-di-udara.html